29
April

 

VOInews.id- Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyuarakan kekhawatiran mengenai meningkatnya kekerasan di Fashir, sebuah kota di negara bagian Darfur Utara, Sudan. Melansir Kantor Berita Turki, Anadolu, Minggu, Dewan Keamanan menekankan potensi konsekuensi dari setiap serangan terhadap kota tersebut yang saat ini menampung sejumlah besar pengungsi internal. Dewan mendesak militer dan Pasukan Dukungan Cepat untuk meredakan ketegangan dan memenuhi kewajiban berdasarkan hukum internasional. Dewan secara khusus menekankan pentingnya menjaga perdamaian di Fashir.

 

Meskipun ada upaya diplomasi untuk menyelesaikan konflik, termasuk mediasi oleh Arab Saudi, Amerika Serikat dan Mesir, serta inisiatif dari organisasi-organisasi regional, konflik yang berkepanjangan di Sudan telah menyebabkan banyak korban jiwa, pengungsian dan krisis kemanusiaan yang mengerikan. PBB pada Jumat (26/4) mengeluarkan peringatan keras tentang meningkatnya situasi di El Fasher, ibu kota Darfur Utara di Sudan, dan mengatakan wilayah tersebut sudah berada di ambang kelaparan.

 

"Kami menerima laporan yang semakin mengkhawatirkan tentang eskalasi ketegangan yang dramatis antara aktor-aktor bersenjata di El Fasher, Darfur Utara," kata juru bicara PBB Stephane Dujarric dalam sebuah pernyataan. Dujarric mengatakan bahwa pasukan paramiliter "Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dilaporkan mengepung El Fasher, menunjukkan bahwa langkah terkoordinasi untuk menyerang kota itu mungkin akan segera terjadi." Dia juga mengatakan bahwa Pasukan Bersenjata Sudan (SAF) sedang memposisikan diri mereka, meningkatkan kekhawatiran akan terjadinya konfrontasi skala besar.

 

Sumber : Anadolu

26
April

 

VOInews.id- Presiden Belarus Alexander Lukashenko, Kamis (25/4), mengatakan bahwa situasi saat ini di Ukraina memberikan peluang untuk mencapai kesepakatan damai, tetapi jika Kiev tidak melakukan perundingan, negara tersebut akan kehilangan status kenegaraannya. Berbicara di Kongres All-Belarusian di Minsk, Lukashenko mengatakan saat ini situasinya menguntungkan karena baik Rusia maupun Ukraina tidak dapat unggul di medan perang, dan kondisi seperti itu adalah yang terbaik untuk memulai dialog. Rusia melancarkan "operasi militer khusus" di Ukraina pada Februari 2022. Sejak saat itu, negara-negara Barat mendukung Kiev secara ekonomi, militer dan kemanusiaan.

 

"Ukraina membutuhkan perdamaian saat ini, keluarnya warga Ukraina yang kurang lebih sehat dan waras dari negaranya agar tidak maju ke depan adalah buktinya," katanya. Lukashenko menyoroti kesulitan dalam bantuan militer Barat ke Ukraina, dan menekankan bahwa Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy harus berangkat dari kenyataan dan memahami bahwa negaranya membutuhkan perdamaian.

 

"Jika kita tidak bernegosiasi sekarang, Ukraina akan kehilangan status kenegaraannya seiring waktu dan mungkin tidak ada lagi. Ukraina membutuhkan perdamaian saat ini. Kita harus bergerak menuju perdamaian," tegasnya. Kesepakatan Istanbul pada tahun 2022 dapat menjadi titik awal perundingan, namun hal itu tidak berarti bahwa perjanjian tersebut akan dijadikan sebagai dasar, "tetapi perjanjian ini adalah sesuatu yang dapat dimulai oleh kedua belah pihak dan kemudian dilanjutkan," ujarnya.

 

Pada saat yang sama, apa yang disebut "formula perdamaian" Zelenskyy "tampaknya patriotik, tetapi tidak realistis," kata Lukashenko. Dia juga menambahkan bahwa Rusia tidak akan pernah menyetujui ultimatum untuk membayar perbaikan, kembali ke perbatasan tahun 1991, dan mengadili militer kepemimpinannya. Rusia dan Ukraina mengadakan serangkaian pembicaraan damai pada Maret 2022 di Turki dan bahkan menyepakati rancangan perjanjian perdamaian di masa depan.

 

Namun, Kiev kemudian mengubah posisinya dan menarik diri dari perundingan. Pada Oktober 2022, Zelenskyy menandatangani dekrit yang melarang pembicaraan damai apa pun dengan Rusia saat Vladimir Putin menjabat sebagai presidennya.

 

Sumber: Anadolu

26
April

 

VOInews.id- Sekretaris Jenderal NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) Jens Stoltenberg, Kamis (25/4), meminta negara-negara anggota untuk memberikan "lebih banyak dukungan bagi Ukraina" dalam perangnya melawan Rusia. "Kita harus memberikan lebih banyak dukungan untuk Ukraina karena di sanalah kita sedang diuji," kata Stoltenberg dalam pidatonya di Berlin. "Setiap hari kita melihat serangan yang lain, kekejaman berikutnya, Rusia menghancurkan infrastruktur Ukraina, termasuk pembangkit listrik utama," kata Stoltenberg. "Dan kita harus jujur, kenyataannya dalam beberapa bulan terakhir, sekutu-sekutu di NATO belum memberikan dukungan yang dijanjikan kepada kita."

 

Selama berbulan-bulan, Amerika Serikat tidak dapat menyetujui paket baru untuk Ukraina dan di Eropa. "Pengiriman amunisi jauh di bawah tingkat yang kita katakan akan sediakan. Penundaan ini bisa menimbulkan konsekuensi," ujarnya. Stoltenberg menekankan bahwa Ukraina sebenarnya sedang berjuang dalam beberapa pekan terakhir untuk menangkis serangan garis depan Rusia. "Ukraina kalah dalam persenjataan, sehingga memungkinkan Rusia untuk terus maju di garis depan.

 

Ukraina kekurangan pertahanan udara, sehingga memungkinkan lebih banyak rudal dan drone Rusia mencapai sasaran." "Dan Ukraina kekurangan kemampuan serangan yang akurat, yang berarti Rusia dapat memusatkan lebih banyak kekuatan. Namun belum terlambat bagi Ukraina untuk menang karena dukungan perang sedang diberikan." Stoltenberg juga mendesak sekutu-sekutu di NATO untuk memenuhi janji mereka untuk mengirim senjata ke Ukraina "dan melakukannya dengan cepat." "Kita juga harus memberikan dukungan pada pijakan yang lebih kuat dan berjangka panjang. Sebesar 99 persen bantuan militer untuk Ukraina berasal dari sekutu-sekutu di NATO," katanya, menambahkan.

 

Sumber: Anadolu

25
April

 

VOInews.id- Jamaika secara resmi mengakui negara Palestina sebagai upayanya mendukung penyelesaian damai konflik Israel-Palestina menyusul rapat kabinet yang berlangsung Senin (22/4). "Jamaika terus mendukung solusi dua negara sebagai solusi yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik (Israel-Palestina) yang berkepanjangan, menjamin keamanan Israel, dan membela kehormatan dan hak rakyat Palestina," demikian menurut Menteri Luar Negeri Jamaika Kamina Johnson Smith dalam pernyataan persnya.

 

Ia menyatakan, keputusan tersebut sesuai dengan komitmen Jamaika terhadap Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mendukung terwujudnya saling menghargai antara bangsa yang hidup berdampingan secara damai, serta pengakuan terhadap hak suatu bangsa menentukan nasib sendiri. Smith turut menegaskan kembali dukungan Jamaika terhadap gencatan senjata, pembebasan sandera, dan masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza.

 

"Jamaika terus mendukung segala upaya deeskalasi dan mewujudkan perdamaian berkelanjutan di kawasan, serta mengajak semua pihak untuk sadar akan konsekuensi buruk konflik yang berkepanjangan dan berkomitmen terhadap solusi diplomatik, ucap Menlu Jamaika. Negara Karibia tersebut mengikuti jejak langkah 140 negara anggota PBB, termasuk 11 negara anggota Komunitas Karibia (CARICOM), yang telah mengakui kedaulatan Negara Palestina.

 

Antara

Page 8 of 1161